AIR MATA DI UJUNG PELANGI

Hari ini seperti biasa aku memandang keatas dan mendapati langit masih setia menemani, membagi keteduhan di balik birunya. Titik-titik embun yang jatuh perlahan dihelai demi helai daun cemara membuatku tak ingin beranjak dari tempat ku berdiri dan mematung. Cahaya matahari perlahan mulai naik dan memancarkan kekuasaannya, tak pelak itu mampu membuat mataku sedikit terpejam, namun tak merubah kakiku untuk melangkah, hingga nyanyian burung menyadarkan dan mencairkanku dari kebekuan. Aku harus terus melangkah.!
                Tersudut di tempat ini aku tidak tahu pasti kapan itu, tempat ini bukan tempat yang buruk setidaknya itu yang mereka katakan. Tapi apa yang mereka tahu, hanya gambaran abstrack yang tidak jelas, hanya berpura-pura tahu namun tak benar-benar mengerti. Aku tidak tahu kapan aku mulai terdiam dan tidak bereaksi sedikitpun, bahkan perlahan aku mulai lupa apa itu kebahagian, rasa sakit atau bahkan kepedulian. Mereka bilang terlalu asyik dengan dunia sendiri. Dunia yang seperti apa? Aku bahkan tidak tahu dunia apa yang kini aku tempati, seperti apa duniaku? Aku bahkan tidak tahu itu. Tapi aku terus melangkah.
                Pelangi itu pernah aku rasakan, rasa hangat matahari mampu membasuh peluhku untuk tersenyum lagi. Meski sebelum datang pelangi ada badai yang hitam pekat aku tetap tersenyum memandang senja berteman pelangi diujung kaki langit. Tapi perlahan pelangi itu memudar bahkan kini tak muncul lagi di dunia ku yang sempit. Aku tidak tahu kemana dia menghilang. Dulu pernah ku cari hingga aku tak tahu langkahku telah membawaku masuk jauh ke dalam liang kegelapan, meski begitu aku tetap berlari mencari pelangi namun tak ku temukan. Aku menyerah! Saat sadar aku tahu aku kehilangan pelangiku dan tersudut di tempat ini. Aku  harap sekali lagi, pelangi itu muncul dan menemani duniaku. Tapi mungkin takkan sama, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, entah itu setumpuk rindu, segenggam penyesalan atau bahkan aroma kebencian. Aku tidak tahu pasti, tapi aku harus terus melangkah.
                Di bait-bait doa yang kuucapkan perlahan mulai memudar dan tak tedengar, aku merindukannya bahkan hingga saat ini terus merindunya, tapi rasa sakit ini trus berkecamuk dan akhirnya menguasaiku. Lupakan! Itu yang meraka katakan, tapi bagaimana bisa? Mereka tidak tahu rasa sakit yang ku pendam, mereka tidak mengerti bahwa aku sangat menderita bahkan rasanya aku tidak bisa bernafas dan berharap tuhan menghentikkannya saat aku merindukannya. Aku sendirian, mereka tidak tahu itu. Hanya melihat bagaimana yang terlihat dariku, tapi mereka tidak tahu apa itu sakit yang kurasakan? Amat sakit, jika harus diuraikan itu seperti menghitung bintang yang tampak kecil namun akan sangat sulit untuk diterka berapa jumlahnya. Sama seperti rasa sakit yang kurasakan.
                Aku menyesal, membiarkan pelangi itu pergi, tak bisa berbuat apa-apa seperti debu yang tidak berguna. Lalu aku sudah ada disini dan menangis sendiri. Aku merindukan pelangiku, aku ingin kembali seperti dulu. Aku lelah, aku ingin berbaring disisinya dan bercerita tentang hari-hariku. Apa itu mungkin? Sekarang aku kehilangan kata-kata, aku takut apa yang akan aku lakukan pada pelangiku nantinya. Mereka bilang jangan membencinya. Sungguh aku tidak membencinya, aku sangat mencintainya dan merindukannya sekarang. Rasa sakit, sedih dan tawa sudah kulalui dengannya, jadi bagaiman aku membencinya.

                Aku merindukanmu, aku merindukanmu pelangiku, aku sangat merindukan mu, sangat, sangat dan sangat. Tapi sekarang aku disini tak disisi mu lagi. Entah bagaimana jika kita bertemu tapi aku sangat merindukanmu. Dan hidup harus terus berjalankan pelangi? Ya aku harus terus melangkah meski berat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah aza : Manajemen dalam Rumah Tangga

Materi Kuliah : Pembentukan Persekutuan

KKN ≠ Kumpul Kebo