Tulisan Serius Part 2: Belajar Nulis Essay

Assalamu’alaikum,
Apa kabar? Tahun 2016 udah mau setengah aja nih, gimana resolusi awal tahun kemaren? Sebagian ada yang terwujud dong!! Buat yang belum jangan nyerah dan sedih gitu dong, selalu ada kesempatan jutaan kali buat orang yang mau berusaha. Kadang apa yang kita harapin itu sulit banget terwujudnya, dan parahnya lagi orang-orang kayaknya gampang banget dapetin apa yang mereka mau dan saat kayak gitu pasti loe mikirnya, kenapa hidup itu ga adil? Yapzz gue juga sempet berfikir kayak gitu, tapi buru-buru deh gue mengubris pikiran buruk itu. Yah anggap aja Tuhan ngasih kita beban lebih dari yang lain, karena kita kategori hambaNya yang keren.
Udah akhh malah curcol nih gue. Post kali ini adalah salah satu artikel serius gue (loe tau kan gue ga bisa nulis tulisan yang serius. Jadi malu..!!!). jadi ini tuh tugas essay mata kuliah “Ketamansiswaan 2”. Ini pertama kalinya gue bukan tulisan essay, ntahlah bagus atau ga, yang penting gue udah berusaha. Selamat membaca dan semoga ga mual ya abis baca tulisan gue yang sok serius ini. Hehehehe....

LUNTUR

“.....ibu pertiwi menangis memilukan
merah putihnya di cabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala...”
Sajak itu mengunggah hatiku, dibilik kamar sempit ini guncangan dalam hatiku sungguh benar-benar mampu  kurasakan. Sajak itu mampu  menamparku saat tiap bait ku baca dan  dan  keluar dari mulutku. Sajak itu, sajak yang ditulis oleh Gus Muh, sajak yang sudah sangat usang namun hingga kini masih terasa api kemarahan. Tahun 1998, masa itu negeri ini ditengah masa yang sulit, dalam  masa krisis ekonomi global, juga krisis moral. Pilu sunggguh pilu karena hingga kini apa yang tertulis dalam bait-bait sajak  itu masih kita rasakan. Sungguh miris amat sangat miris.
“Kembalikan Makna Pancasila.” Ingin dengan lantang ku teriakkan seperti  saat  mulut kecilku dulu mampu berteriak dengan bengis di depan kelas saat guru memintaku membaca sajak  ini. Ingin rasanya ku perlihatkan lagi tatapan penuh amarahku pada negeri yang mulai luntur pancasilanya. Akankah kudapati kembali tepuk tangan riuh setelah selesai ku baca bait itu? Akankah ada yang tergugah saat aku selesai membaca kalimat terakhir sajak itu? Di tengah bangsa kita yang mulai lupa akan nilai dari Pancasila, disaat bangsa kita mulai lupa akan makna dari Pancasila.
Pancasila sudah tua. Dia tidak segagah dulu dan kehilangan kesaktiannya. Tinta yang menggambarkan betapa kuat dan indah maknanya kini mulai luntur. Bukannya hanya menangis, kini Ibu Pertiwi seolah pasrah dan enggan untuk menangis. Anak bangsa yang diharapkan untuk mampu menghapus air matanya, kini kehilangan jati diri. Jangankan mampu memahami makna Pancasila dan mengamalkan, menghapalnya pun ia enggan. Sudah separah inikah negeri ini? Mungkinkah masih ada segelintir orang diluar sana yang masih mengamalkan Pancasila dalam kehidupannya. Yang mengasaskan asas “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang tidak saling bertikai saat umat lain melakukan ibadah, yang saling hormat menghormati antar umat beragama. Ahhh kupikir aku terlalu berfikiran sempit, sesempit kamarku saat ini. Tidak mungkin bangsa ini terpuruk begitu dalam, sungguh memilukan jika itu benar. Tapi,,, hatiku lagi-lagi berontak “KEBINATANGAN YANG DEGIL DAN BIADAB”. Kata-kata itu membuat otakku memikirkan ulang kata-kata bahwa bangsa ini masih belum kehilangan nilai Pancasilanya. Tidak  bangsa ini butuh pertolongan, jangan sampai nilai Pancasila yang sudah luntur akan semakin luntur dan tak berbekas lagi. 
Masih ingat kisah penyanyi dangdut terkenal berinisial  ZG  atau tak perlu mengatakan inisialnya karena tentu semua orang sudah tau siapa  dia. Entah dengan kepolosannya yang memang tidak tahu apa itu Pancasila atau dengan sengaja karena terbawa suasana yang penuh dengan lelucon konyol tak mendidik berujar dengan santai bahwa lambang dari sila kelima adalah “bebek nungging”. Orang-orang berintelektual tinggi beraksi keras saat itu. “Ayo kita tuntut dan penjarakan saja, dia sudah menghina Pancasila dan secara tidak langsung sudah menghina Bangsa ini!”. Lantang mereka berkata “Penjarakan Saja” namun beberapa saat kemudian, jangankan dipenjara atau sangsi sosial bahkan sesaat kemudian dengan senyum sumringah penuh kemenangan dengan serta merta mengangkat ZG sebagai “DUTA PANCASILA”. Heh alangkah konyolnya negeri ini, betapa labilnya ketegasan kaum intelektual bangsa kita saat ini. Duta Pancasila? Bahkan gelengan kepala tak mampu menghilangkan rasa kecewaku dan hal itu diperparah lagi dengan senyum sumringah kaum inteltual kita saat mengangkat ZG sebagai duta pancasila. Seolah mengatakan dengan penuh kemenangan mengangkat kepalanya “Lihatlah, keputusan yang ku buat adalah keputusan yang paling baik. Mari kita rayakan!”. Ironi sekali, mengangkat seseorang yang bahkan  tak tahu Pancasila apalagi makna dari Pancasila menjadi Duta Pancasila. Bahkan pengangkatan dibuat sedemikian rupa agar terkesan si ZG menghapal Pancasila beserta lambangnya. Begitukah nilai dari Pancasila? Hanya dengan hapal butiran-butiran Pancasila kita sudah dianggap mengerti tentang Pancasila, dengan mengingat  lambang dari tiap butiran Pancasila maka itu sudah dianggap mengamalkan makna Pancasila.
Selain Duta Pancasila dan kasus ZG, bagaimana kasus lainnya. Kisah Nenek yang mencuri kayu bakar dan dituntut penjara dan uang ganti rugi yang bahkan seumur hidupnya tidak bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Kisah klasik para kaum intelektual kita, yang ditengah sidang asyik tidur atau bermain game atau yang hanya bersitegang dengan rapat yang tak berujung namun bernyali ciut saat rakyatnya menjerit meminta keadilan. Lalu kisah lain dari para penerus bangsa yang semakin kehilangan moral karena kini pelajaran moral sudah hilang dari kurikulum resmi sekolah, bahkan Ilmu Agama dan Kewarganegaraan seolah hanya pelengkap kurikulum yang entah berkilblat kearah mana dan seolah menuntut kemajuan zaman tanpa memikirkan moral sebagai pondasi. 

“Kembalikan Makna Pancasila.” Sungguh bangsa ini krisis akan moral. Moral akan kebanggaan terhadap bangsa sendiri. Kasus ZG adalah salah satu deretan yang membuat lunturnya nilai Pancasila bangsa ini. Semua lapisan masyarakat bertanggungjawab atas lunturnya makna Pancasila ini. Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk mengamalkan kembali sari-sari dari Pancasila. Semua lapisan masyarakat, baik itu yang tua, muda, tunas yang  bahkan belum terlahir ke dunia ini. Kita bertanggungjawab mempertahankan keutuhan bangsa ini, keutuhan  nilai dari Pancasila. Ayo kita kembalikan lagi makna sesungguhnya dari Pancasila.
“Ketuhanan Yang Maha Esa.” Indonesia negara dengan penduduk yang melimpah begitu juga dengan keragaman pemeluk agamanya. Esa yang berarti Satu haruslah menjadi dasar yang kokoh bahwa kita adalah satu. Meski agama kita berbeda tapi kita satu. Tidak ada yang lebih membahagiakan saat para tokoh agama dari pemeluk agama yang berbeda saling berdiskusi dengan nyaman dan bersahaja, saat pemeluk agama yang berbeda saling bergandengan  tangan membentuk pola persahabatan yang saling melindungi. Saatnya bagi kita untuk mengembalikan nilai sejati dari sila pertama Pancasila ini. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan lambang Bintang dengan makna Keanekaragaman yang satu, bukan “Kesetanan Yang Maha Perkasa” yang membuat perpecahan antar umat beragama.
“Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”. Manusia yang baik adalah manusia yang mampu memanusiakan manusia yang lainnya. Manusia adalah mahkluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan dibanding mahkluk lainnya, sudah sepantasnya kelakuan kita lebih beradab. Tidak berbuat seperti halnya binatang yang tidak beradab. Sila Kedua dari Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dengan lambang Rantai besi, bermakna bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil dan dan mempunyai kewajiban memperlakukan orang lain secara beradab. Bukan “Kebinatangan Yang Degil Dan Biadab”. yang berwujud seperti manusia tapi moral tak mencerminkan manusia yang sejati.
“Persatuan Indonesia”. Maknanya sungguh indah jika kita memikirkan dan memberi sedikit ruang untuk memaknainya. Persatuan yang artinya menyatukan setiap komponen masyarakat Indonesia yang beragam. Indonesia adalah negeri ramah, bayangkan jika setiap masyakarat Indonesia mengirim satu delegasinya, berpegangan tangan sambil tersenyum, sungguh tidak ada pemandangan yang lebih indah dari itu. Sila ketiga dari Pancasila “Persatuan Indonesia” dengan lambang Pohon Beringin, yang kuat dan kokoh serta besar. Bukan “Perseteruan Indonesia” yang saling perang antar saudara atau antar suku. Karena kita Indonesia, Pohon beringin yang besar, kita kuat dan kita adalah Satu.
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Yang berarti bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapatnya. Para kaum intelektual yang sudah diberikan amanat sebagai penyampai pesan dari rakyat haruslah bijaksana dalam memutuskan sesuatu, haruslah mementingkan kepentingan rakyat diatas segalanya. Sila keempat dari Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Dengan lambang Kepala Banteng, yang gagah dan sebagai tameng untuk melindungi rakyat dari kebadilan. Bukan “Kekuasaan Yang Dipimpin Oleh Nikmat Kepentingan Dalam Kekerabatan / Perkawanan”, yang mementingkan sebagian kaum dan menyengsarakan kaum lainnya.
“Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, kata ini diulang lagi. Setalah disebutkan disila kedua, kata adil muncul kembali di sila kelima. Ini menunjukkan bahwa bersikap adil itu sangat diperlukan. Keadilan yang diharapkan pada bangsa ini adalah keadilan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, keadilan untuk mendapatkan akses kesehatan yang layak, keadilan yang sesungguhnya bukan hanya fatamorgana indah saat pidato resmi. Sila kelima dari Pancasila “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, dengan lambang Padi dan kapas, yang berarti kesetaraan semua kalangan tidak ada perbedaan sedikitpun. Bukan “Kelaliman Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang merenggut setiap hak yang akhirnya membuat pertikain semakin dalam.
Kita belum mati, masih ada nilai Pancasila dalam diri kita. Meski nilai Pancasila sudah mulai luntur bukan berarti sudah tak berbentuk. Kita masih  bisa memperbaikinya. Dimulai dari sekarang, dari diri kita, dari keluarga kita, dari lingkungan persahabatan kita, lingkungan rumah dan menyebar seluruh negeri. Dari dalam bilik kamar yang sempit ini, ku lipat kertas bertuliskan karangan Gus Muh “KEMBALIKAN MAKNA PANCASILA” berharap tak ada lagi anak bangsa yang menjadikan sajak ini sebagai wujud kekesalannya akan negeri yang mulai kehilangan nilai pancasila, negeri yang tak mengenal moral bangsanya sendiri, negeri yang mulai kehilangan jati dirinya.
Di dalam bilik ini, lipatan kertas berisi sajak karangan Gus Muh ini akan kusimpan didalam laci. Ku tanamkan dalam benakku bahwa Pancasila takkan semudah itu kehilangan maknanya, masih banyak anak bangsa yang sedang memperjuangkan Nilai-nilai Pancasila. Seperti judul dari sajak ini “Kembalikan Makna Pancasila”.  Di dalam bilik kamar ini, proses pengembalian Pancasila pada tempatnya sudah dimulai. Dari bilik kamar, lipatan kertas bertuliskan sajak itu sudah tersimpan rapi dalam laciku, sama rapinya seperti tekadku untuk mengembalikan nilai dari Sila Pancasila.
Gimana bro? Rada bagus atau aneh? Mudah-mudahan ga jelek-jelek amat lah,, kasian si amat dijelek-jelekin mulu. Alah ini gue ngomong apa coba. Hmm gue bikin tuh essay ga sampe satu hari, kayaknya sih Cuma beberapa jam. Alasannya adalah gue baru sadar kalau tuh tugas mesti dikumpul sampe hari minggu, nah tuh hari minggu gue udah ada acara buat ke rumah mbak Fitri (Agenda kita adalah Berkunjung kerumah Karyawan sebelum menjelang bulan Ramadhan a.k.a numpang makan gratis), so abis magrib gue ngerjain kepotong sama sholat isya dan drama TV. Udah lah ga usah panjang lebar lagi reason nya ntar loe semua pada enek. Note kali ini adalah “Tuhan tahu kapan waktu yang tepat untuk kita, tunggu dan tetap berusaha.” See you guys, enjoy your life and stay smile, that’s make you strenght.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah aza : Manajemen dalam Rumah Tangga

Materi Kuliah : Pembentukan Persekutuan

KKN ≠ Kumpul Kebo